”Sebenarnya gerakan-gerakan dalam tari Reog Ponorogo menggambarkan tingkah polah manusia dalam perjalanan hidup mulai lahir sampai mati filosofinya sangat dalam”.
Dari kata di atas dapat diambil
kesimpulan bahwasanya setiap gerakan dari pada tarian Reog lah yang menjadi
acuhan kiblat tingkah laku kehidupan sehari-harinya. Khususnya penduduk desa
yang berada jauh dari pusat kota Ponorogo sendiri.
Diawali keluarnya Warok Sepuh kemudian di iringi keluarnya para Warok Muda, merefleksikan seberapa waroknya para muda Ponorogo masih tetap menghormati pada yang Sepuh mempersilahkan yang lebih tua duluan dalam segi kemasyarakatannya.
Diawali keluarnya Warok Sepuh kemudian di iringi keluarnya para Warok Muda, merefleksikan seberapa waroknya para muda Ponorogo masih tetap menghormati pada yang Sepuh mempersilahkan yang lebih tua duluan dalam segi kemasyarakatannya.
Menurut legenda dari pada Warok itu
sendiri, lekat dengan budaya warok yang tumbuh sejak tujuh abad silam. Kini, tradisi
itu tergerus karena makin sedikit orang yang mau menempuh olah fisik, jiwa, dan
pikiran untuk jadi warok. Warok-warok tua yang tersisa mungkin bakal jadi
generasi terakhir, mereka adalah :
1. Mbah Kami tuwo Kucing atau Kasni Gunopati (75) di Sumoroto
2. Mbah Lurah Welut Harjowiyono (90) di desa Bulu Lor Kecamatan Jambon
3. Mbah Senen Kakuk (83) di Desa Bulu Lor Kecamatan Jambon
4. Mbah Petil (85) di Desa Bibis, Kecamatan Sambit
5. Mbah Tobroni (70) di Kelurahan Cokromenggalan, KecamatanPonorogo
6. Mbah Bikan Gondowiyono di Desa Plunturan, Kecamatan Pulung
7. Mbah Legong di Desa Jebeng, Kecamatan Slahung
8. Mbah Benjot (70) di Desa Carat, Kecamatan Kauman
Ratusan tahun silam, malam 1 Suro jadi pembaptisan warok muda. Tapi, ritual itu berangsur hilang, terutama sejak tahun 1970-an. Semakin sulit mencari orang yang mau menempa diri jadi warok, atau gagal akibat tak kuat menahan godaan keduniawian.”Warok itu tidak bisa dibuat-buat, tidak ada sekolahnya,”papar Mbah Wo Kucing. Seseorang disebut warok karena pengakuan masyarakat.
Istilah warok muncul bersama pendekar Suromenggolo dan Surogentho yang diperkirakan hidup sekitar abad ke-14 Masehi. “Warok” dalam bahasa Jawa berarti sesuatu yang lebih besar atau kuat. Warok kemudian identik dengan pendekar yang jagoan berkelahi dan disegani.
Sekilas, para warok sepuh Ponorogo punya kelebihan fisik. Badan mereka rata-rata besar, pejal, dengan tinggi sekitar 170 cm. Beberapa warok tua bertubuh kerempeng. Akan tetapi, kelebihan utama warok adalah soal ilmu kanuragan (kekuatanfisik). Tubuh mereka dianggap kebal terhadap senjata tajam. Ilmu itu dibutuhkan untuk membela diri dari ancaman. Sebagian warok mengandalkan kekuatan itu untuk pergi berperang gerilya membela Tanah Air. Warok juga menguasai ilmu kautaman atau tata perilaku untuk membela kebenaran dan keadilan.Untuk mencapai derajat kewarokan, seseorang harus berguru selama bertahun-tahun.Selama belajar, calon warok menempuh tirakat yang berat, seperti menjalani puasa 40 hari 40 malam, puasa total siang-malam (ngebleng) selama tiga hari, atau puasa dengan hanya makan nasi putih (mutih). Terkadang, mereka bertapa dalam kubur (topomluang) atau berendam di sungai (kungkum).
Tirakat semakin berat karena banyak pantangan yang harus dijauhi. Salah satunya, calon warok pantang berhubungan seksual dengan perempuan. Untuk mengalihkan hasrat itu, biasanya mereka memelihara gemblak, yaitu pemuda belasan tahun yang dijadikan kekasih.
Saat ini semakin jarang orang Ponorogo yang berniat menjadi warok.Bertapa dalam kesunyian di tengah zaman yang serba material ini dianggap kelewat berat. Anak-anak warok sepuh pun cenderung memilih hidup normal.
Kemudian para Perempuan yang menaiki Jaran Kepang atau Kuda Lumping dengan gerakannya yang lincah, merefleksikan betapa lincahnya para perempuan-perempuan Ponorogo yang dengan kelincahanya sudah mencapai Luar Negeri menjadi TKW mencari rejeki demi kelurganya.
Kemudian keluarnya Bujang Ganong dengan tari yang rancak dan pecicilan, merefleksikan para Muda Ponorogo yang dengan pecicilanya dengan kreasinya memodifikasi tungganganya dan menngendarainya seperti yang saya lihat di Jalan Suro Menggolo atau Dalan Anyar dengan gaya Free Stylenya.
Kemudian keluarnya Barongan dengan wajah yang garang dan dadak merak dengan bulu yang lembut dan indah dengan gerakanya yang meliuk-liuk, merefleksikan para anggota Dewan di Ponorogo dengan pemikiranya yang meliuk-liuk memikirkan kegarangan masalah demi masalah yang ada di Ponorogo dan dapat menghasilkan pemikiran yang lebut dan indah yang bisa diterima Masyarakat Ponorogo.
Kemudian keluarnya Prabu Klono Sewandono dengan wibawanya memegang Pecut Samandiman dengan gerakan mengayaun-ayunkan pecutnya seperti Orang Angon, merefleksikan Pemimpin Ponorogo yang berwibawa dengan memegang selalu komitmennya dan selalu menghasilkan gagasan-gagasan yang cemerlang sehingga dapat ngengon (memelihara) masyarakat Ponorogo menjadi lebih baik menuju PONOROGO MUKTI WIBOWO. Semua gambaran rinci tentang tatanan hidup masyarakat Ponorogo seperti yang tersebut tidak lepas dari sebuah kata intinya “REOG” yang berarti Resik Endah Omber Girang Gemirang.<a
1. Mbah Kami tuwo Kucing atau Kasni Gunopati (75) di Sumoroto
2. Mbah Lurah Welut Harjowiyono (90) di desa Bulu Lor Kecamatan Jambon
3. Mbah Senen Kakuk (83) di Desa Bulu Lor Kecamatan Jambon
4. Mbah Petil (85) di Desa Bibis, Kecamatan Sambit
5. Mbah Tobroni (70) di Kelurahan Cokromenggalan, KecamatanPonorogo
6. Mbah Bikan Gondowiyono di Desa Plunturan, Kecamatan Pulung
7. Mbah Legong di Desa Jebeng, Kecamatan Slahung
8. Mbah Benjot (70) di Desa Carat, Kecamatan Kauman
Ratusan tahun silam, malam 1 Suro jadi pembaptisan warok muda. Tapi, ritual itu berangsur hilang, terutama sejak tahun 1970-an. Semakin sulit mencari orang yang mau menempa diri jadi warok, atau gagal akibat tak kuat menahan godaan keduniawian.”Warok itu tidak bisa dibuat-buat, tidak ada sekolahnya,”papar Mbah Wo Kucing. Seseorang disebut warok karena pengakuan masyarakat.
Istilah warok muncul bersama pendekar Suromenggolo dan Surogentho yang diperkirakan hidup sekitar abad ke-14 Masehi. “Warok” dalam bahasa Jawa berarti sesuatu yang lebih besar atau kuat. Warok kemudian identik dengan pendekar yang jagoan berkelahi dan disegani.
Sekilas, para warok sepuh Ponorogo punya kelebihan fisik. Badan mereka rata-rata besar, pejal, dengan tinggi sekitar 170 cm. Beberapa warok tua bertubuh kerempeng. Akan tetapi, kelebihan utama warok adalah soal ilmu kanuragan (kekuatanfisik). Tubuh mereka dianggap kebal terhadap senjata tajam. Ilmu itu dibutuhkan untuk membela diri dari ancaman. Sebagian warok mengandalkan kekuatan itu untuk pergi berperang gerilya membela Tanah Air. Warok juga menguasai ilmu kautaman atau tata perilaku untuk membela kebenaran dan keadilan.Untuk mencapai derajat kewarokan, seseorang harus berguru selama bertahun-tahun.Selama belajar, calon warok menempuh tirakat yang berat, seperti menjalani puasa 40 hari 40 malam, puasa total siang-malam (ngebleng) selama tiga hari, atau puasa dengan hanya makan nasi putih (mutih). Terkadang, mereka bertapa dalam kubur (topomluang) atau berendam di sungai (kungkum).
Tirakat semakin berat karena banyak pantangan yang harus dijauhi. Salah satunya, calon warok pantang berhubungan seksual dengan perempuan. Untuk mengalihkan hasrat itu, biasanya mereka memelihara gemblak, yaitu pemuda belasan tahun yang dijadikan kekasih.
Saat ini semakin jarang orang Ponorogo yang berniat menjadi warok.Bertapa dalam kesunyian di tengah zaman yang serba material ini dianggap kelewat berat. Anak-anak warok sepuh pun cenderung memilih hidup normal.
Kemudian para Perempuan yang menaiki Jaran Kepang atau Kuda Lumping dengan gerakannya yang lincah, merefleksikan betapa lincahnya para perempuan-perempuan Ponorogo yang dengan kelincahanya sudah mencapai Luar Negeri menjadi TKW mencari rejeki demi kelurganya.
Kemudian keluarnya Bujang Ganong dengan tari yang rancak dan pecicilan, merefleksikan para Muda Ponorogo yang dengan pecicilanya dengan kreasinya memodifikasi tungganganya dan menngendarainya seperti yang saya lihat di Jalan Suro Menggolo atau Dalan Anyar dengan gaya Free Stylenya.
Kemudian keluarnya Barongan dengan wajah yang garang dan dadak merak dengan bulu yang lembut dan indah dengan gerakanya yang meliuk-liuk, merefleksikan para anggota Dewan di Ponorogo dengan pemikiranya yang meliuk-liuk memikirkan kegarangan masalah demi masalah yang ada di Ponorogo dan dapat menghasilkan pemikiran yang lebut dan indah yang bisa diterima Masyarakat Ponorogo.
Kemudian keluarnya Prabu Klono Sewandono dengan wibawanya memegang Pecut Samandiman dengan gerakan mengayaun-ayunkan pecutnya seperti Orang Angon, merefleksikan Pemimpin Ponorogo yang berwibawa dengan memegang selalu komitmennya dan selalu menghasilkan gagasan-gagasan yang cemerlang sehingga dapat ngengon (memelihara) masyarakat Ponorogo menjadi lebih baik menuju PONOROGO MUKTI WIBOWO. Semua gambaran rinci tentang tatanan hidup masyarakat Ponorogo seperti yang tersebut tidak lepas dari sebuah kata intinya “REOG” yang berarti Resik Endah Omber Girang Gemirang.<a
Kabupaten Ponorogo terletak di sebelah barat-selatan Surabaya. Jarak dari ibukota Kabupaten Ponorogo ke ibukota provinsi Jawa Timur ini adalah sekitar 200 km. Jarak ini dapat ditempuh dengan perjalanan darat dengan bus selama ± 5 jam. Sedangkan, dari ibukota Jakarta Country berada di 800 km. Dari Solo, kota Jawa Tengah bisa 3 jam melalui Wonogiri atau 4 jam melalui Madiun. Biasanya Madiun menjadi ibukota transit ketika orang bepergian bepergian dengan kereta api. Sementara itu ketika mereka ingin melakukan perjalanan dengan pesawat mereka bisa berubah menjadi pesawat di Surabaya atau di Solo. Sementara berdasarkan catatan arkeologis dari batu gilang tercatat bahwa Ponorogo berdiri sejak 11 Agustus 1496 M yang digambarkan dalam candra seng kalamemet, berwujud gambar: manusia, pohon, burung garuda dan gajah, yang berarti angka 1418 saka.
BerdasarLegenda
1. Di dalam buku Babad Ponorogo yang
ditulis oleh Poerwowidjojo diceritakan bahwa asal-usul nama Ponorogo. Bermula
dari kesepakatan dan musyawarah antara Raden Katong dan Kyai Mirah dan Joyodipo
pada hari Jum’at saat bulan purnama.Bertempat di tanah lapang dekat gumuk
(wilayah Katongan sekarang). Di dalam musyawarah tersebut disepakati bahwa kota
yang akan didirikan nanti dinamakan“ Pramana raga “ akhirnya lama kelamaan
menjadi Ponorogo. Berasal dari gabungan kata Pono
inter, wasis, mumpuni,
mengertibenar, dan Raga : badan, jiwa. Sehingga apabila digabungkan
menjadi badan yang pintar yang dapat membedakan mana yang baik dan mana yang
buruk yang dapat menempatkan dirinya di manapun dan kapanpun.

2. Dari cerita rakyat yang masih
hidup di kalangan masyarakat terutama dikalangan generasi tua. Ada yang
mengatakan bahwa nama Ponorogo kemungkinan berasal dari kata Pono:
wasis, pinter, mumpuni, mengertibenar, Raga: Jasmani atau badan sekujur.
Akhirnya menjadi Ponorogo.
TinjauanEtimologi
Jika ditinjau secara etimologi akan kita dapatkan beberapa kemungkinan sebagai berikut :
Jika ditinjau secara etimologi akan kita dapatkan beberapa kemungkinan sebagai berikut :
- Prama dan Raga sebutan dari Pramana Raga terdiri dari dua kata, Pramana : daya kekuatan, rasa hidup, permon, wadiraga, badan, jasmani. Dari penjabaran tersebut dapat ditafsirkan bahwa dibalik badan wadak manusia tersimpan suatu rasa hidup (wadi) berupa olah batin yang mantap dan mapan berkaitan dengan pengendalian sifat-sifat marah, alumawah, shuflah, muthmainnah
- Ngepenakake raga menjadi Panaraga Manusia yang memiliki kemampuan olah batin yang mantap dan mapan akan dapat menempatkan diri di manapun dan kapanpun berada Akhirnya apapun tafsirannya tentang Ponorogo dalam wujud seperti yang kita lihat sekarang ini adalah tetap Ponorogo sebagai kota REOG yang menjadi kebanggan masyarakat Ponorogo.
Ponorogo adalah sebuah kota
Kabupaten kecil di Propinsi Jawa Timur, berada di sebelah selatan Kota Madiun.
Ponorogo memiliki kesenian budaya daerah yang terkenal yaitu Reog Ponorogo,
pada tiap tahunnya disetiap tanggal 1 Muharram (bulan Jawa) akan dilakukan
berbagai macam ritual-ritual, seperti : Ritual Bathara Kathong dan Ritual
Larungan. Yang berfungsi untuk menghormati nenek moyang atau leluhur dari kota
Ponorogo itu sendiri. Dan memiliki tujuan lain untuk menarik wisatawan untuk
dating menyaksikan ritual-ritual yang diadkan. Bahkan diadakan lomba kesenian
Reog Nasional dan Pesta Kembang Api sebagai puncak acara ritual tersebut.
Setiap kalangan dari masyarakat Ponorogo sendiri memiliki pendapat dan pandangan tentang arti dari setiap ritual tahunan yang diadakan. Akan tetapi mereka masih meyakini akan adanya hal-hal yang mistik mengenai sejarah dari tempat yang mereka huni pada saat sekarang ini. Sebagai bukti yang menguatkan itu semuanya masih adanya 8 warok di Ponorogo, konon pada awalnya adalah sesosok orang yang berkanuragan dan kebal akan senjata tajam, yang selalu membela tanah air Indonesia dengan bergerilya dan selalu membela kebenaran dan kebajikan. Semua tingkah laku dari pada masyarakat Ponorogo tidak terlepas dari pada semboyan kota Ponorogo itu sendiri yaitu : REOG (Resik Endah Omber Girang Gemirang)
1. Ritual Batara Kathong
Sesungguhnya, ada dua jenis upacara ritual yang dijadikan sentra kegiatan grebegsuro di Kabupaten Ponorogo. Pertama adalah ritual yang dilakukan di makam Batara Kathong dan yang kedua adalah dilakukan di telaga Ngebal. Keduanya, diselenggarakan saat kegiatan grebegsoro sudah mencapai puncaknya.
Upacara ritual di makam Batara
Kathong tak lebih merupakan prosesi mengenang sejarah Kabupaten Ponorogo yang
keberadaannya tidak bisa dilepas dari tokoh tersebut. Setiap tanggal 1 Muharam
Suro, kota Ponorogo diselenggarakan Grebeg Suro yang juga merupakan hari lahir
Kota Ponorogo. Dalam even Grebeg Suro ini diadakan Kirab Pusaka yang biasa
diselenggarakan sehari sebelum tanggal 1 Muharram. Pusaka peninggalan pemimpin
Ponorogo jaman dulu, saat masih dalam masa Kerajaan Wengker, diarak bersama
pawai pelajar dan pejabat pemerintahan di Kabupaten Ponorogo, dari Makam Batoro
Katong (pendiri Ponorogo) di daerah Pasar Pon sebagai kota lama, ke Pendopo
Kabupaten, konon senjata tersebut disucikan atau dibersihkan terlebih dahulu
untuk menghormati leluhur, bahkan bukan hanya senjata tersebut yang harus
dibersihkan tetapi masyarakat pada umumnya mempercayai kekeramatan hari
tersebut untuk menambah ilmu-ilmu kebatinan yang mereka anut maupun benda-benda
pusaka yang mereka miliki harus dibersihkan pula. Menurut Dodik Sri Suryadi,
pemimpin jalannya upacara sekaligus Ketua Paranormal Kabupaten Ponorogo, Batara
Kathong alias Lembu Kanigorodiya kini sebagai putera Brawijaya V (Raja
Majapahit terakhir) dari Majapahit yang diminta memerangi kerajaan Wengker agar
tunduk pada kerajaan. Singkatnya, setelah melalui peperangan yang dasyat,
Wengker pun dapat ditundukkan. Dan untuk menandainya dipindahlah pusat
kekuasaan dari kota wetan (timur) menuju kota tengah atau pusat pemerintahan
sekarang. Sementara berdasarkan catatan arkeologis dari batu gilang tercatat
bahwa Ponorogo berdiri sejak 11 Agustus 1496 M yang digambarkan dalam candra
seng kalamemet, berwujud gambar: manusia, pohon, burung garuda dan gajah, yang
berarti angka 1418 saka.
2. Ritual Telaga Ngebel
Sementara upacara pada ritual di
Telaga Ngebel, yang diselenggarakan esok harinya, menurut humas kegiatan Wiwik,
berupa larung sesaji yang dilakukan pada pagi hari, ditandai dengan membuang
berbagai macam sesaji di tengah danau. Upacara yang sudah ada jauh sebelum
masyarakat Ponorogo mengenal peradaban maju tersebut kini tetap dipelihara dan
dipertahankan dengan cara digarap sesuai dengan kebutuhan pariwisata. Namun
demikian, seluruhnya tetap diupayakan tidak mengurangi hal-hal yang bersifat
transcendental sebagai perwujutan menjaga kemurniantardisi.
Asal muasal dari Telaga Ngebel
sendiri berasal dari cerita yang berkembang di masyarakat, Telaga Ngebel
mempunyaiceritaunik yang didasarkan pada kisah seekor ular naga bernama “Baru
Klinting”. Sang Ular ketika bermeditasi secara tak sengaja dipotong-potong oleh
masyarakat sekitar untuk dimakan.Secara ajaib sang ular menjelma menjadi anak
kecil yang mendatangi masyarakat dan membuat sayembara, untuk mencabut lidi
yang ditancapkan di tanah.
Namun tak seorangpun berhasil
mencabutnya. Lantas dia sendirilah yang berhasil mencabut lidi itu. Dari lubang
bekas lidi tersebut keluarlah air yang kemudian menjadi mata air yang
menggenang hingga membentuk Telaga Ngebel. Legenda Telaga Ngebel, terkait erat
dan memiliki peran penting dalam sejarah Kabupaten Ponorogo. Konon salah
seorang pendiri Kabupaten ini yakni Batoro Kantong. Sebelum melakukan syiar
Islam di Kabupaten Ponorogo, Batoro menyucikan diri terlebih dahulu di mata
air, yang ada di dekat Telaga Ngebel yang kini dikenal sebagai Kucur Batoro.
Sebuah ritual tahunan disebuah telaga yang dipercaya sering mengambil korban jiwa.
Perjalanan berliku mengelilingi gunung dan buki tmerupakan suasana yang menyegarkan. Indahnya alam di Ngebel semakin lengkap bila memandang telaganya. Inilah Telaga Ngebel. Tapi siapa sangka, telaga indah ini punya citra angker bagi warga setempat entah sudah berapa banyak orang yang tenggelama di sini.
Perahurekreasi yang dulu pernah ada kerap tenggelam dan rusak saat melintas itelaga. Mau tidak mau, sejumlah peristiwa itu semakin menguatkan angkernya sang telaga. Ingin tahu lebih lengkap, seperti apa yang dikatakan Mbah Budiharjo yang tinggal di tepi telaga. Warga setempat menyapanya. Mbah Budi adalah penduduk asli Ngebel yang dianggap tahu banyak mengenai mitos di Telaga Ngebel.
Konon, telaga ini muncul sebagai ekses kemarahan seorang pemuda miskin bernama Baru Klinting yang sering diejek penduduk sekitar yang arogan. Klinting sendiri sebetulnya manusia jelmaan seekor naga yang dibunuh warga setempat untuk konsumsi pesta rakyat.Kedatangan Klinting yang seperti pengemis memicu kemarahan warga yang jijik melihat penampilan sang pemuda. Hanya Nyai Latung yang berbaik hati padanya. Sang pengemis pun marah dengan kesaktiannya ia menenggelamkan seluruh desa. Hanya Nyai Latung yang selamat.Air bah itulah yang kini dikenal sebagai Telaga Ngebel. Sejakitu pula, beragam bencana dan musibah terus-terusan mendera Ngebel.Dari mulai musim paceklik, gagal panen hingga wabah penyakit,dan beencana yang selaludatanghinggakini.
Ada 4 lokasi keramat yang sering diberi sesaji oleh masyarakat. Diantaranya Gua Kumambang yang sekarang terendam air dan Gua Nyai Latung serta Bebong.Mitos Ngebel juga terkait dengan sesepuh Reog Ponorogo Raden Batoro Katong.Ketempat petilasannya inilah sekarang Kami menuju.Batoro Katong yang merupakanputra Raja Brawijayake V pernah bersembunyi dari kejaran musuh dan bertapa disalah satu gua yang ada di tepi telaga.Tempat Batoro Katong singgah pun jadi keramat. Bahkan bila salah satu warga Ngebel punya keinginan tertentu, ia melakukan tirakatan dan member sesaji di tempatini. Bila malam Jumat tiba, Telaga Ngebel ramai oleh beragam sesaji dari mereka yang percaya.Puncaknya adalah saat malam 1 Suro.
Sebuah ritual tahunan disebuah telaga yang dipercaya sering mengambil korban jiwa.
Perjalanan berliku mengelilingi gunung dan buki tmerupakan suasana yang menyegarkan. Indahnya alam di Ngebel semakin lengkap bila memandang telaganya. Inilah Telaga Ngebel. Tapi siapa sangka, telaga indah ini punya citra angker bagi warga setempat entah sudah berapa banyak orang yang tenggelama di sini.
Perahurekreasi yang dulu pernah ada kerap tenggelam dan rusak saat melintas itelaga. Mau tidak mau, sejumlah peristiwa itu semakin menguatkan angkernya sang telaga. Ingin tahu lebih lengkap, seperti apa yang dikatakan Mbah Budiharjo yang tinggal di tepi telaga. Warga setempat menyapanya. Mbah Budi adalah penduduk asli Ngebel yang dianggap tahu banyak mengenai mitos di Telaga Ngebel.
Konon, telaga ini muncul sebagai ekses kemarahan seorang pemuda miskin bernama Baru Klinting yang sering diejek penduduk sekitar yang arogan. Klinting sendiri sebetulnya manusia jelmaan seekor naga yang dibunuh warga setempat untuk konsumsi pesta rakyat.Kedatangan Klinting yang seperti pengemis memicu kemarahan warga yang jijik melihat penampilan sang pemuda. Hanya Nyai Latung yang berbaik hati padanya. Sang pengemis pun marah dengan kesaktiannya ia menenggelamkan seluruh desa. Hanya Nyai Latung yang selamat.Air bah itulah yang kini dikenal sebagai Telaga Ngebel. Sejakitu pula, beragam bencana dan musibah terus-terusan mendera Ngebel.Dari mulai musim paceklik, gagal panen hingga wabah penyakit,dan beencana yang selaludatanghinggakini.
Ada 4 lokasi keramat yang sering diberi sesaji oleh masyarakat. Diantaranya Gua Kumambang yang sekarang terendam air dan Gua Nyai Latung serta Bebong.Mitos Ngebel juga terkait dengan sesepuh Reog Ponorogo Raden Batoro Katong.Ketempat petilasannya inilah sekarang Kami menuju.Batoro Katong yang merupakanputra Raja Brawijayake V pernah bersembunyi dari kejaran musuh dan bertapa disalah satu gua yang ada di tepi telaga.Tempat Batoro Katong singgah pun jadi keramat. Bahkan bila salah satu warga Ngebel punya keinginan tertentu, ia melakukan tirakatan dan member sesaji di tempatini. Bila malam Jumat tiba, Telaga Ngebel ramai oleh beragam sesaji dari mereka yang percaya.Puncaknya adalah saat malam 1 Suro.
Sagun Yang Tangguh
Pagi menjelang malam 1 Suro saat udara sedingin es, warga
Ngebel mengadakan upacara qurban. Seekor kambing dengan bulu warna putih tidak
putus melingkar bagian tengah tubuhnya atau yang disebut dengan kambing
keditakan disembelih.Darah kambing yang ditampung di kain putih ini dihanyutkan
kemuara telaga. Sang kepala akan dilarung ketelaga saat malam dan kaki kambing
akan ditanam di empat tempat keramat.
Sementara itu seorang warga bernama Sagun akan mengemban tugas penting. Ialah pembawa sesaji ketengah telaga dalam ritual yang akan berlangsung di malam tersebut. Konon, tidak sembarang orang bisa membawa dan berenang menghayutkan sesaji ketengah telaga.Sagun sendiri mengaku tidak punya ilmu penangkal apapun selain mahir berenang. Lelaki tiga anak ini sehari-harinya bekerja sebagai pengawas pengairan di Ngebel. Bila ada orang yang tenggelam di Ngebel, biasanya Sagun yang diminta mencari.Tak heran ia terus dipercaya sebagai pembawa larungan sesaji.
Malam 1 Suro, Larung sesaji akan diberikan pada hari tersebut. Disepanjang jalan menuju Telaga Ngebel, warga memasang obor sebagai penerangan jalan.Tradisi menyalakan obor saat malam 1 Suro ini sudah berlangsung lama. Menambah suasana mistis yang sudah terasa sejak pagi. Di aula kecamatan tempat larung akan dimulai. Sekitar 40 sesepuh dan dukun Ngebel berkumpul di aula kecamatan.Mereka akan tirakatan. Dalam acara ini, sejenis mantra Jawa kuno dibaca bersama-sama.Tidak ada yang tahu pasti sejak kapan tradisi larung saji di Ngebel ini berlangsung. Yang jelas, sang telaga seperti tak jera meminta korban jiwa. Seusai tirakatan, saatnya menuju danau. Penerangan yang digunakan seadanya menambah aroma gaib di tempat ini. Apalagi udara sangat dingin. Tapi semua itu tidak menyurutkan langkah para sesepuh untuk mengelilingi danau unuk menanam 4 potongan kaki di tempat-tempat keramat. Dalam waktu hampir bersamaan, upacara larung sesaji segera dimulai. Potongan kepala kambing yang sudah dimasak dijadikan sesaji, dihanyutkan ketengah telaga dibawa oleh Sagun sang pembawa. Malam yang gelap membuat pandangan ketengah telaga tidak begitu jelas.Semua yang hadir di malam itu menanti kepulangan Sagun. Sagun memang tangguh, tak lama ia pun kembali. Padahal selain ada kisah angker yang membayangi, air di telaga sungguh amat dingin. Usai larung sesaji kembali diadakan doa bersama sebagai ungkapan syukur. Besok pagi akan digelar kembali larung sesaji, tapi dengan nuansa berbeda.
Sementara itu seorang warga bernama Sagun akan mengemban tugas penting. Ialah pembawa sesaji ketengah telaga dalam ritual yang akan berlangsung di malam tersebut. Konon, tidak sembarang orang bisa membawa dan berenang menghayutkan sesaji ketengah telaga.Sagun sendiri mengaku tidak punya ilmu penangkal apapun selain mahir berenang. Lelaki tiga anak ini sehari-harinya bekerja sebagai pengawas pengairan di Ngebel. Bila ada orang yang tenggelam di Ngebel, biasanya Sagun yang diminta mencari.Tak heran ia terus dipercaya sebagai pembawa larungan sesaji.
Malam 1 Suro, Larung sesaji akan diberikan pada hari tersebut. Disepanjang jalan menuju Telaga Ngebel, warga memasang obor sebagai penerangan jalan.Tradisi menyalakan obor saat malam 1 Suro ini sudah berlangsung lama. Menambah suasana mistis yang sudah terasa sejak pagi. Di aula kecamatan tempat larung akan dimulai. Sekitar 40 sesepuh dan dukun Ngebel berkumpul di aula kecamatan.Mereka akan tirakatan. Dalam acara ini, sejenis mantra Jawa kuno dibaca bersama-sama.Tidak ada yang tahu pasti sejak kapan tradisi larung saji di Ngebel ini berlangsung. Yang jelas, sang telaga seperti tak jera meminta korban jiwa. Seusai tirakatan, saatnya menuju danau. Penerangan yang digunakan seadanya menambah aroma gaib di tempat ini. Apalagi udara sangat dingin. Tapi semua itu tidak menyurutkan langkah para sesepuh untuk mengelilingi danau unuk menanam 4 potongan kaki di tempat-tempat keramat. Dalam waktu hampir bersamaan, upacara larung sesaji segera dimulai. Potongan kepala kambing yang sudah dimasak dijadikan sesaji, dihanyutkan ketengah telaga dibawa oleh Sagun sang pembawa. Malam yang gelap membuat pandangan ketengah telaga tidak begitu jelas.Semua yang hadir di malam itu menanti kepulangan Sagun. Sagun memang tangguh, tak lama ia pun kembali. Padahal selain ada kisah angker yang membayangi, air di telaga sungguh amat dingin. Usai larung sesaji kembali diadakan doa bersama sebagai ungkapan syukur. Besok pagi akan digelar kembali larung sesaji, tapi dengan nuansa berbeda.
Mengapa Ada LarungLagi
Pagi hari 1 Suro atau 1 Muharam larungan kembali digelar.
Tapi yang ini lebih sebagai modifikasi yangdilakukan pihak pemerintah daerah
setempat. Dalam perkembangannya, larung sesaji yang penuh aroma gaib memang
menjadi kontroversi di masyarakat Ponorogo.
Sebagai kota santri yang hampir seluruh penduduknya pemeluk Islam, larung sesaji dianggap tidak relevan dengan ajaran Islam. Tapi disisi lain, larung sesaji sudah jadi tradisi yang melekat pada warga setempat. Pemerintah Daerah setempat kemudian berinisiatif memodifikasinya dengan larung berisalah doa. Ini juga sebagai salah satu upaya Pemda untuk menarik wisatawan dating ke Ngebel. Karena Ngebel yang kaya potensi wisatanya ini jarang jadi tempat tujuan wisata. Kebanyakan sudah ketakutan dulu bila mendengar mitos Ngebel. Kalau melihat jumlah pengunjung yang dating menyaksikan larungan pagi tersebut, upaya itu cukup berhasil. Dari sisi prosesi, larung risalah mirip dengan larung sesaji yang dilakukan malam hari. Perbedaannya ada pada jenis sesaji dan doa. Pada larung risalah ini ukuran sesajinya jauh lebih besar. Terbuat dari beras dan bahan makanan lainnya.
Nuansanya pun tidak seperti tadi malam. Mungkin karena yang hadir saat ini jauh lebih banyak. Bahkan pengunjung bisa ikut naik ke atas perahu mengiringi sang pembawa sesaji.
Dalam larung risalah, sesajian ini diperuntukan bagi hewan penghuni telaga seperti ikan. Selain sesaji, ikut ditenggelamkan juga kota berisi doa keselamatan ke dasar telaga. Tujuannya meminta keselamatan dan perlindungan Tuhan.
Seiring dengan tenggelamnya sesaji, usai sudah ritual tahunan di Ngebel. Tak lama lagi telaga ini akan kembali tenang bisa jadi kembali ditakuti. Tapi mungkin, mitos ini jugalah yang melindungi keberadaan Telaga Ngebel yang keindahannya terjaga hingga kini.
Sebagai kota santri yang hampir seluruh penduduknya pemeluk Islam, larung sesaji dianggap tidak relevan dengan ajaran Islam. Tapi disisi lain, larung sesaji sudah jadi tradisi yang melekat pada warga setempat. Pemerintah Daerah setempat kemudian berinisiatif memodifikasinya dengan larung berisalah doa. Ini juga sebagai salah satu upaya Pemda untuk menarik wisatawan dating ke Ngebel. Karena Ngebel yang kaya potensi wisatanya ini jarang jadi tempat tujuan wisata. Kebanyakan sudah ketakutan dulu bila mendengar mitos Ngebel. Kalau melihat jumlah pengunjung yang dating menyaksikan larungan pagi tersebut, upaya itu cukup berhasil. Dari sisi prosesi, larung risalah mirip dengan larung sesaji yang dilakukan malam hari. Perbedaannya ada pada jenis sesaji dan doa. Pada larung risalah ini ukuran sesajinya jauh lebih besar. Terbuat dari beras dan bahan makanan lainnya.
Nuansanya pun tidak seperti tadi malam. Mungkin karena yang hadir saat ini jauh lebih banyak. Bahkan pengunjung bisa ikut naik ke atas perahu mengiringi sang pembawa sesaji.
Dalam larung risalah, sesajian ini diperuntukan bagi hewan penghuni telaga seperti ikan. Selain sesaji, ikut ditenggelamkan juga kota berisi doa keselamatan ke dasar telaga. Tujuannya meminta keselamatan dan perlindungan Tuhan.
Seiring dengan tenggelamnya sesaji, usai sudah ritual tahunan di Ngebel. Tak lama lagi telaga ini akan kembali tenang bisa jadi kembali ditakuti. Tapi mungkin, mitos ini jugalah yang melindungi keberadaan Telaga Ngebel yang keindahannya terjaga hingga kini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar